Mengapa Orang Menerima Tekanan Batin?

Tekanan batin merupakan semacam penyakit yang tidak ringan.
Orang yang menerima tekanan batin, ia sakit. Maka dinamakan penyakit tekanan batin.
Di sini penulis hanya akan membicarakan tekanan batin dari sudut kebatinan.
Pertama-tama marilah kita mencari tahu, kenapa orang menerima tekanan batin?
Yang terperinci menjadi pangkalnya tekanan batin yaitu si 'aku' menghendaki sesuatu, namun tidak tercapai. Tapi si 'aku' terus terikat dengan keinginannya itu. Si 'aku' tidak sanggup melepaskan keinginannya tadi, itulah menjadikan kontradiksi yang jago sekali di dalam batin. Akibatnya batin menjadi gelisah, kalut, marah, gusar, dan sebagainya.
Kita sanggup membayangkan sendiri, bagaimana perkembangan orang yang mengalami kontradiksi dan kekalutan batin secara demikian?
Sudah tentu ia menjadi abnormal. Mulai dari pikirannya, kemudian perbuatannya, termasuk juga percakapannya jadi ngaco tidak karuan.
Dia yang berbuat demikian tidak sadar – meskipun ia berkata bahwa ia sadar.
Sebab, apabila ia sadar, ia tidak berbuat demikian, mengacau dan berbicara sembarangan, seperti ia tahu segala pekerjaan Tuhan.
Kepada siapa saja ia merasa benci, entah melanggar perintahnya, entah tidak menuruti keinginannya, kemudian dijadikan sasarannya. Dia memaki-maki, mengutuk, mengumpat, menghujat, menyampaikan di luar kesopanan insan yang normal.
Jadi jelaslah bahwa si 'aku' sangat besar lengan berkuasa besar pada orang itu, yang menjadikan kelakuan-kelakuan aneh, perbuatan-perbuatan yang abnormal, lantaran ia tidak sanggup lepas dari keterikatan keinginannya yang tak tercapai.
Orang yang menginginkan sesuatu, walaupun keinginannya besar, tapi kalau ia tidak terikat secara "mati-matian" tidak akan mengalami sakit bila gagal.
Dan banyak orang yang gagal dengan usahanya tidak menerima tekanan batin, lantaran mereka tidak terikat begitu keras. Si 'aku' tidak besar lengan berkuasa sedemikian hebatnya.
Maka yang harus dimengerti yaitu si 'aku' ini. Si pikiran yang membesar-besarkan dirinya sendiri, mau menang sendiri, minta dipandang unggul sendiri,- itulah yang menciptakan dirinya terkekang., pikiran dan hatinya bertentangan, batinnya kacau, perasaannya gelisah, akhirnya menjadikannya susah, menderita, yang balasannya menjadi penyakit tekanan batin.
Bagaimana semoga kita tidak menerima tekanan batin? Dia harus tidak terikat dengan segala sesuatu. Pikirannya harus bebas, higienis dari kepercayaan-kepercayaan yang tidak masuk akal, lepas dari khayalan atau ilusi. Dengan singkat, si 'aku' harus dimengerti, lantaran si 'aku' inilah yang menciptakan undangan yang majemuk rupanya.
Orang yang 'aku'-nya begitu besar, mensugesti seluruh hidupnya tanpa sadar. Tapi ia mengakunya sadar.
Si 'aku' tidak mau dikalahkan. Si 'aku' minta diunggulkan, dijunjung tinggi, dan dipuji-puji.
Jika si 'aku' disinggung, dengan segera terjadilah keributan, percekcokan, dan perlawanan.
Di situlah sukarnya kita berhadapan dengan si 'aku'. Keadaan hidup yang demikian ini tidak akan berhenti, tidak akan berubah, tidak akan berganti, - apabila kita tidak sanggup mengerti diri kita sendiri. Hanya kalau pengertian itu datang, ada pada kita, barulah kesadaran yang sejati membukakan "belenggu" kita dan di situlah peranan si 'aku' berhenti.
Apakah yang mengganti kalau si 'aku' sudah tidak ada dalam diri kita? Kasih yang ada. Kasih itulah hidup insan yang sejati.
Dengan kasih setiap orang hidupnya lapang, bersih, tidak terikat dan tidak terkekang dengan apapun. Orang yang begitu yaitu orang yang bebas.
Dan kalau kita sanggup hidup bebas, kita senang, besar hati ria, hening tenteram, berpandangan luas, tidak akan ada tekanan batin yang mengganggu kita.
Maka marilah kita semua mengarahkan hidup kita kepada hidup yang bebas.
Jangan hingga kita diperbudak sifat 'aku'. Jangan kita lupa dan memupuk si 'aku'. Jangan hingga kita menuruti harapan si 'aku' yang hanya mau mengenakkan dirinya sendiri, namun melepaskan hubungan baik dengan sesamanya.
Ingatlah baik-baik, kita tidak hidup menyendiri. Hidup kita yang positif ialah baik dengan semua makhluk hidup.
Orang yang arif bukan untuk dirinya sendiri, melajnkan untuk hubungan baik dengan yang lain. Dan itulah sifat kasih. Kasih itu kewajaran manusia, kasih itu kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
Jika orang menyadarinya, maka tekanan batin tidak ada. Lalu hidupnya senang, tenteram, bersih, dan segar.
Semoga setiap orang suka mengerti hal itu, dan tidak terganggu dengan tekanan batin bercorak apapun.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel